KEBERSERAHAN DIRI


DAMAI SEJAHTERA

BLOG INI HANYA UNTUK MANUSIA YANG MENDAMBAKAN PERDAMAIAN DUNIA KHUSUSNYA ANAK-ANAK ABRAHAM AGAR TERCIPTANYA SEBUAH SYSTEM KEHIDUPAN KEBERSERAHAN DIRI, DAMAI DAN SEJAHTERAH

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat/firman (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tiada kita abdi kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."

Laman

Sabtu, 10 April 2010

ISLAM DAN BUDAYA TASAUF

Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil krida, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini, di samping memberikan fasilitas yang indah, juga menghadirkan tantangan yang harus diatasi. Manusia tidak puas dengan hanya apa yang terdapat pada alam kebendaan. Manusia memiliki wawasan dan tujuan hidup tertentu sesuai dengan kesadaran dan cita-citanya.

Budaya Islam yang disebarkan oleh para Nabi dan Rosul adalah Islam yang sejati, Islam yang original yang memancarkan budaya Islam Syar’i. yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas ajaran yang belum dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal; akan tetapi justru mengubah budaya lokal yang pluralistik menjadi tauhid, yang hanya mencintai Allah saja. Sepanjang perjalanannya, penyebaran Islam selalu terbentur dengan budaya-budaya masyarakat lokal. Dalam interaksi Islam dan berbagai budaya lokal tentu terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin pula Islam yang justru diwarnai oleh berbagai budaya lokal. Masalahnya disini, apakah para pendukung Islam yang aktif, atau malah sebaliknya para pendukung budaya lokal yang telah memahami ajaran Islam menurut kacamata warisan budaya lokal mereka. Melalui hal ini timbul proses lokalisasi unsur-unsur Islam yang kelak dalam sastra budaya melahirkan Islam Konservatif (tradisional). Begitu juga jika para ulama pendukung Islam yang aktif mengislamkan masyarakat, tentu yang muncul adalah budaya Islam Pesantren.

Di samping itu budaya umat manusia juga selalu berkembang dan dinamis. Karena itu, dalam interaksi budaya lokal dan budaya Islam tentu muncul dua budaya yang berbeda; budaya Islam yang original (progresif) dan budaya Islam yang tradisional (ekspresif-konservatif). Budaya Islam yang progresif adalah pengembangan cara berfikir ilmiah yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu. Para pendukung kebudayaan progresif umumnya adalah pecinta ilmu pengetahuan, dan selalu tanggap terhadap unsur-unsur positif baik dalam budaya asing, untuk mendukung pengembangan, progresifitas, dan dinamika budaya Islam. karena mereka memandang kebudayaan sebagai proses yang selalu berkembang, sehingga wawasan merekapun dinamis. mereka memandang hasil budaya pada suatu zaman adalah bernilai untuk sementara waktu, dan pasti akan diganti oleh hasil budaya yang lebih unggul nilainya. Sedangkan puncak kebudayaan ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik.

Para pendukung Islam ekspresif-konservatif umumnya bersikap statis dan tradisional, mereka menilai hasil kebudayaan sebagai sesuatu yang final. Mereka yang berwawasan tradisional kurang tanggap terhadap perlunya perubahan maupun penyesuaian budaya Islam terhadap kemajuan zaman. Misalnya, mereka menyayangkan ditinggalkannya budaya ruwatan, tayuban, tahlil, ziarah, wayangan dan sebagainya. Mereka khawatir anak-anak kini tidak bisa lagi menjalankan tradisi itu.

Ajaran Islam yang asli adalah bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah atau pengamalan yang dicontohkan oleh Rasulullah dari awal menerima wahyu sampai Dien Islam tegak. Pemahaman Islam yang utuh meliputi tiga aspek : Iman, Hijrah, Jihad. Inti sari Iman menurut perspektif Al Qur’an adalah pengesahan Allah; yang jernih, dan murni, serta tidak mengenal kompromi terhadap mitologi dan kemusyrikan. Islam menganut paham yang rasional dan jernih, yang menolak setiap bentuk kuasa rohani selain Allah. Islam sebagai ajaran dari Tuhan sangat menghargai logika penalaran; konsep ijtihad sebagai sumber dinamik sebagai pengembangan ajaran. Pendekatan ilmiah untuk mendinamisasi pengembangan ajaran adalah mutlak, tanpa hal ini ijtihad akan lumpuh, demikian pula tanpa pendekatan ilmiah, pemahaman terhadap konsep tauhid tidak akan jernih.

Sedangkan budaya islam konservatif atau tradisional berpangkal pada ajaran tasawuf atau sufisme yang berorientasi pada paham mistik. Mistisisme dalam islam dikenal dengan nama tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Ajaran tasawuf ini tidak bisa menjadi dasar modal bagi kehidupan modern, apalagi di jadikan dasar untuk mengembangkan ajaran Islam yang murni berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Ajaran Islam yang original sangat menekankan nilai moral idealis yang tinggi, bukan moral spiritual yang mistik. Tergusurnya moral spiritual yang idealis berarti tergusurnya jiwa keislaman, meskipun masih melaksanakan shalat lima waktu, zakah, puasa, haji. Dia punya islam, tetapi tidak menghayati Ruh keislamannya.

Ajaran tasawuf ini telah menjadi inti dari ajaran mistik yang berkembang selama berabad-abad bahkan sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Ajaran mistik ini telah lama berkembang dalam agama Hindu, Budha, Kristen, bahkan dalam filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh NeoPlatonisme (427-347 SM). Ia juga telah menyebar di Timur Tengah, seperti Mesir, Syiria, Persia, Basrah, sampai mencakup daratan Eropa, Asia dan Afrika. Bahkan sampai hari ini ajaran tersebut masih mendominasi ajaran Islam yang murni, puncaknya pada abad ke-12 M, ia dikenal dalam islam sebagai ajaran tasawuf, dan para pengikutnya disebut sufi. Ajaran ini awal pertumbuhannya dikembangkan oleh para elite kerohanian, kemudian pada abad ke-13 M terjadi kemunduran pemikiran Ijtihad dalam Islam. Sebagai gantinya, ajaran tasawuf dengan berbagai tarekatnya menguasai pemikiran Islam. Kemunduran umat Islam ini disimbolkan oleh runtuhnya Kebudayaan intelektual Baghdad dan Cordoba, sehingga sejak abad 13 sampai abad ke-20 M, hingga hari ini pemikiran islam didominasi oleh ajaran sufisme dengan berbagai tarekat, khurafat, dan takhayul.

fakta historis juga mencatat bahwa ajaran -tasawuf, sufisme, mistis- adalah warisan agama Parsi kuno yang menyembah dewa-dewa (panganisme). Bahkan dipercaya, empat mazhab besar seperti Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hambaliah menganut paham tasawuf. Mereka bukanlah orang yang hidup pada zaman nabi Muhammad, bahkan tidak pernah merasakan keras dan pahitnya perjuangan nabi. Mereka hidup sekitar 230 tahun atau 270 tahun setelah nabi yang agung wafat. Imam Muhammad Ismail Bukhari (846 M), imam Muslim Bin Hajjaj Al Qasheeri, Abu Abdullah Ibn Yazeed Ibn Majah, Sulaeman Abu Dawood, Imam Abu Musa Tirmizi, dan Abu Rahman Nisai, mereka datang dari kerajaan Persia yang dikalahkan oleh pasukan Islam. Serta Syaikh Muhammad Bin Yaqoob Bin Ishaq Al-Kulaini, Syaikh Abu Ja’far Ibn Ali Ibn Babwayhi Al-Qummi serta Syaikh Ibn Hassan Al-Toosi berasal dari Persia, tak satupun dari orang-orang ini yang orang Arab. Mereka semua orang majusi dari kerajaan Persia Sassanid yang sakit hati terhadap umat Islam akibat kekalahan mereka oleh pasukan Islam.

Para pengikut Majusi-Zoroastrian ini banyak diantara mereka memakai nama dan kedok muslim. motiv utama yaitu memecah belah umat muslim menjadi beberapa sekte, sehingga mendorong mereka untuk berselisih satu sama lainnya dan menjadikannya meninggalkan Al Qur’an. Mereka selalu sibuk mengeluarkan bid’ah-bid’ah pribadi dari teks-teks kitab suci, melegitimasinya dengan kedaulatan Tuhan, menafsirkan kitab suci menurut hawa nafsu, memonopoli penafsiran kitab suci, memaksa orang lain untuk menerima pendapat pribadi mereka dan bergelimang dalam khurafat dan takhayul. Mereka adalah orang-orang yang Dimana kemunculannya seiring dengan mulai runtuhnya kebudayaan intelektual islam, dan budaya tasawuf mulai mendomionasi ajaran islam murni. Begitu juga dengan ulama-ulama atau imam-imam yang muncul pada masa kehancuran kekuasaan Islam yang berkedok sebagai domba, padahal mereka adalah serigala yang amat buas.

Akibat runtuhnya kebudayaan Islam serta para intelektualnya di Baghdad, Cordoba dan daerah-daerah Islam lainnya, maka kevakuman ini kemudian diisi oleh ajaran tasawuf; tetapi sayangnya, ajaran tasawuf adalah memistikkan ajaran Islam murni (Al Qur’an dan Sunnah). Sehingga mengubah citra islam menjadi ajaran yang mengembangkan budaya ultra ekspresif (budaya mistis-tasawuf). Ini berlawanan dengan ajaran islam Murni yang mengedepankan budaya yang progresif yakni penalaran logika-ilmiah yang merupakan ijtihad murni berdasarkan Kitab suci. Cara berfikir Sufisme lebih menomorsatukan paham animisme, ilmu gaib, dan tahayul. Ciri khas ajaran tasawuf-sufisme adalah menganut kepercayaan roh dan daya gaib yang bersifat aktif warisan nenek moyang yang tidak berlandaskan kepada Al Quran dan Sunnah. Prinsip roh aktif menurut mereka adalah bahwa roh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan masyarakat manusia. Dan roh gaib itu juga di yakini dapat membantu atau mengganggu kehidupan manusia, artinya dapat di manfaatkan.

Tentu hal ini menumbuhkan kelompok-kelompok pawang kebatinan, dukun, pendeta atau paranormal yang berfungsi sebagai perantara untuk bisa berhubungan langsung dengan roh dan kekuatan gaib tersebut. Jadi pola berfikir sufistik jelas menyimpang dari ajaran Islam, karena tidak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah serta pengalaman yang dicontohkan para Rasulullah. Ajaran tasawuf ini juga telah berkembang di nusantara; khususnya tanah jawa, jauh sebelum Islam masuk ke bumi nusantara. Dimana kerajaan Hindu dan Budha yang menganut paham mistisme sudah mengakar di masyarakatnya. Sudah menjadi hal yang lazim, setiap penguasa pasti mencoba menanamkan pahamnya kepada masyarakatnya. Sehingga ajaran Islam murnipun telah bercampur dengan ajaran tasawuf di tanah jawa. Bahkan para wali yang menyebarkan islam di tanah jawa pun dipercaya telah terkontaminasi oleh budaya lokal. Sehingga perlu diadakan evaluasi religi tasawuf-sufisme-mistis yang telah mengakar kuat semenjak zaman pra-sejarah di Indonesia, khususnya di Jawa.

Ajaran tasawuf memuncak pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa melalui pengembangan ilmu pedukunan, ilmu klenik dengan rumusan lafal berbahasa Arab yang dipercayai berdaya magis. Demikian pula ilmu santet, ilmu tenung, adat istiadat kesukuan, upacara religi atau ritual-ritual, mantra-manta atau kidung-kidung untuk memohon bantuan roh nenek moyang dan menolak segala penyakit, merupakan warisan ilmu hitam nenek-moyang yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, bukan warisan ajaran Islam yang yang di bawa oleh Rasulullah. Ajaran ini jelas-jelas menyimpang dari syariat Islam. Anehnya dalam masa transisi menuju modern ini, ilmu perdukunan dan jampi-jampi justru kian marak, dan bahkan sering dikaitkan dengan ilmu pijat urut dan sebagainya. Padahal bagi umat Islam, kepercayaan akan adanya roh dan daya gaib ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Pada intinya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa ajaran tasawuf-sufisme-mistis bukan warisan ajaran Islam murni, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah serta tidak berlandaskan Al Quran dan Sunnah dan sesat menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar